Usai pertandingan uji coba resmi internasional Indonesia vs Argentina yang berakhir dengan skor 0-2, 19 Juni 2023 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, saya bertemu dengan salah satu mantan striker Timnas Indonesia, sebut saja namanya F. Saat itu sambil nongkrong santai di tangga tribun GBK saya menanyakan pendapatnya terkait penampilan Rizky Ridho dkk.
Di mata saya, sang mantan striker ini adalah sosok yang kapabel untuk memberikan komentar. Pada periode tahun 2000-an, dia membukukan hampir 50 penampilan dan mencetak gol sebanyak dua digit buat Tim Merah Putih. Hingga saat ini, menurut pandangan saya belum ada sosok striker penerus yang berani, punya gocekan yahud, dan tajam seperti dirinya di skuad Timnas Indonesia.
“Timnas kelihatan masih kurang tenang. Sering kehilangan bola dengan mudah dan cepat waktu ditekan lawan,” ucap F.
Tak hanya itu, ia juga memberikan masukan soal kualitas lawan yang dihadapi dalam laga uji coba. Menurutnya, sangat perlu untuk mencari lawan yang sesuai dengan kebutuhan Timnas Indonesia.
“Saran saya, lawan selanjutnya jangan yang kualitasnya jauh di atas seperti Argentina. Tujuannya supaya kelihatan cara main saat menyerang. Kalau kualitas lawan terlalu jauh di atas, sulit untuk melihat cara menyerang Timnas karena lebih banyak diserang,” kata si mantan striker yang kini memegang lisensi kepelatihan A AFC itu.
Buat saya, kritik dan saran tersebut konstruktif. Disuarakan oleh eks striker Timnas Indonesia, yang kini juga paham ilmu kepelatihan. Saya yakin, F juga tak memiliki kepentingan pribadi apapun dengan komentarnya. Saat itu statusnya free. Tidak sedang melatih tim manapun. Intinya, komentar F itu sangat layak untuk dijadikan bahan berita.
Pagi hari setelah obrolan malam itu, berita terkait masukan dan saran F dipublish. Sore harinya, selepas Maghrib, F mengontak saya lewat aplikasi Whatsapp.
“Mas, saya dihujat netijen di medsos gara-gara ngomong kritik dan saran buat Timnas,” tulis F.
Saya langsung membalas pesan dari F. “Gak ada yang salah dari komentarmu. Kan kamu memang memberikan masukan yang membangun, berdasarkan apa yang kamu lihat di pertandingan,” tulis saya.
“Ok siap,” balas F.
Semasa aktif bermain, F ini tak mudah takut dengan provokasi atau intimidasi bek lawan. Gaya bicaranya cuek dan ceplas ceplos. Hal ini mungkin yang membuatnya bisa bersikap dengan cuek dengan hujatan yang diterimanya.
Bulan Mei 2024, saya terlibat lagi dalam percakapan dengan eks pemain TImnas Indonesia yang lain, sebut saja namanya B. Posisinya gelandang dan pernah menjadi kapten Tim Merah Putih. Momennya percakapan kami terjadi setelah Tim U-23 Indonesia tampil sebagai semifinalis di Piala Asia U-23. Saat itu B juga tengah jadi bahan hujatan netizen karena komentar dan sarannya buat Timnas U-23.
“Sekarang sulit mencari kritikan yang proper. Bahkan beberapa media yang dulu sangat terjaga integritasnya, sudah mulai ikut-ikutan membuat berita “yang penting netizen senang”, karena takut kalau berbeda akan ditinggal pembaca, atau dihujat netizen. Sementara kalau ada yang memberi kritikan membangun malah diserang netizen,” tulis B dalam pesan whatsapp.
“Kondisi seperti inilah yang akhirnya membuat kebenaran sepakbola sudah hilang. Yang banyak hanya kepalsuan yang tujuannya hanya untuk menyenangkan saja,” lanjut B.
B kemudian memperbolehkan saya untuk mengutip komentarnya untuk dijadikan bahan berita. Namun ia meminta saya untuk menyimpan identitas lengkapnya. Saya menduga, kemungkinan besar B ogah dijadikan bahan bulan-bulanan oleh netizen di media sosial.
Kondisi ini tentu memprihatinkan. Di belahan bumi manapun, yang namanya Tim Nasional dan pelatih, bakal menduduki kursi panas. Kritik, dari yang sopan hingga yang super pedas, sudah pasti akan menjadi santapan pelatih timnas. Dalam konteks F dan B, saya yakin apa yang mereka suarakan murni karena rasa cinta pada Timnas. Tak ada alasan buat mereka melontarkan kritik dan masukan karena alasan personal. Terlepas dari kritik atau saran tersebut didengar STY dan kemudian dijadikan bahan pertimbangan atau tidak, itu soal lain.