Jakarta (ANTARA) – Bukan satu kali, dua kali, atau tiga kali, tapi sudah delapan kali Manchester City menelan kekalahan dalam rentang 11 pertandingan terakhir mereka di semua kompetisi. Praktis City hanya berhasil meraup lima poin dari kemungkinan 33 poin yang bisa mereka dapatkan.
Kekalahan di Derbi Manchester melawan Manchester United di kandang sendiri menjadi penegasan bahwa City benar-benar dalam situasi bahaya. Pukulan telak bagi sang juara bertahan, begitu juga untuk sang pelatih Pep Guardiola.
Gestur tubuh Pep tak bisa bohong karena ia terlihat frustasi dan jengkel ketika Matheus Nunes membuat kesalahan dengan melanggar Amad Diallo di kotak terlarang yang mengakibatkan penalti untuk MU pada lima menit terakhir pertandingan.
Sebenarnya, kesalahan pertama Nunes dapat diatasi oleh kiper Ederson dan bek City yang dengan sigap menutup ruang Diallo. Namun, upaya pertanggungjawaban atas kecerobohan yang ia lakukan malah ditempuh Nunes dengan aksi agresif, justru menjadi bumerang untuk timnya sendiri. Melihat insiden ini, di sisi lapangan, Pep memegangi kepalanya dengan kedua tangannya yang kemudian dilanjutkan menutup wajahnya.
Bruno Fernandes mengeksekusi penalti dengan baik untuk membuat skor menjadi 1-1. Dua menit kemudian, Diallo benar-benar menjadi mimpi buruk City. Setelah menghasilkan penalti untuk MU, pemain muda dari Pantai Gading itu lolos dari jebakan offiside para bek City untuk membuat Derbi Manchester edisi pertama musim ini milik Setan Merah.
Hasil di Etihad kali ini mengulangi kemenangan United atas City pada 7 Maret 2021 silam saat masih diasuh oleh Ole Gunner Solskjaer. Saat itu, MU menang 2-0 berkat gol penalti Bruno Fernandes dan Luke Shaw.
Baca juga: Pembalikan dramatis bawa MU bungkam City 2-1
Laga ini sekaligus jadi pembuktian bahwa Ruben Amorim tak mengandalkan keberuntungan ketika mengantar Sporting Lisbon mengalahkan City 4-1 di Liga Champions bulan lalu. Dalam kurun waktu 40 hari saja, Amorim sukses mengatasi Pep dengan dua tim yang berbeda.
Dalam wawancaranya dengan Sky Sports, Bernardo Silva mengakui performa The Citizens seperti penampilan tim usia 15 tahun setelah kebobolan dua gol mudah pada lima menit terakhir di sebuah laga derbi.
“Kami harus introspeksi. Kami tak boleh berpikir, ‘Oh, kami bermain sangat bagus dan hanya sedikit kurang beruntung’. Tidak! Ini tentang (konsekuensi) keputusan yang Anda buat. Hari ini di menit-menit terakhir kami bermain seperti tim U-15 dan Anda harus membayarnya harganya,” kata pemain asal Portugal itu.
Kekalahan melawan tim tetangga membuat City menderita lima kekalahan di Liga Inggris musim ini dari 16 pertandingan yang sudah dimainkan. Empat kali lagi mereka akan menyamai jumlah kekalahan terbanyak di liga dalam semusim sejak ditangani Pep, yakni sembilan kali pada 2019/2020 saat City terpaut 18 poin dari Liverpool dalam perburuan gelar.
Lima laga Liga Inggris berikutnya dari The Citizens adalah melawan Aston Villa, Everton, Leicester City, West Ham United, dan Brentford. Berkaca dari penampilan saat ini, maka agak mustahil mereka menyapu bersih kelima laga dengan kemenangan. Andaikan bertambah satu kali kalah lagi, City akan mengulangi jumlah kekalahan musim 2016/2017 yang menjadi musim pertama Pep di Etihad.
“Hal terburuk sebagai seorang bek dan striker di dalam kotak penalti adalah ketika Anda merasa cemas. Anda harus memiliki ketenangan dan ketenangan sehingga tidak ada hal buruk yang akan terjadi,” kata Pep setelah laga melawan United, dikutip dari laman resmi City.
Komentar Pep seperti nasihat untuk dirinya sendiri, sebab satu-satunya cara bagi dia untuk bisa mengarungi keadaan saat ini adalah dengan tetap tenang dan tak dilamun cemas.
Baca juga: Guardiola akui belum punya solusi atas rentetan hasil buruk Man City
Kesalahan kolektif
Juru taktik Crystal Palace asal Austria, Oliver Glasner, meyakini faktor kuat kemerosotan performa Manchester City musim ini adalah menurunnya intensitas permainan mereka.
Glasner menilai City memang masih mendominasi penguasaan bola di tiap pertandingan, tetapi secara signifikan terdapat penurunan intensitas permainan dibandingkan musim-musim lalu yang diperlihatkan dengan lambatnya sirkulasi bola. Hal ini menyebabkan kekuatan City yang mengandalkan sirkulasi umpan dan transisi cepat untuk membelah membelah pertahanan lawan menjadi terganggu.
“Jika Anda melihatnya, sebagian besar kekalahan City musim ini terjadi saat melawan tim-tim yang memainkan sepak bola dengan intensitas tinggi, cepat, dan sangat pandai berlari, seperti Bournemouth, Tottenham, dan Brighton,” kata Glasner setelah hasil imbang 2-2 melawan City di Selhurst Park, 7 Desember lalu.
Kehilangan Rodri adalah salah satu pukulan terbesar bagi Pep Guardiola, juga untuk City. Tugas Rodri yang sama baiknya dalam mengatur pertahanan dan serangan tak mampu diemban oleh Mateo Kovacic maupun pemain baru rasa lama, Ilkay Gundogan.
Rodri diperkirakan absen hingga akhir musim karena kerobekan ligamen lutut setelah menyelesaikan musim lalu dengan bermain sebanyak 58 kali bersama City dan juga timnas Spanyol.
Potensi cedera Rodri seharusnya dapat diantisipasi oleh Pep. Namun, sialnya, ini luput dari pandangannya. Keadaan semakin diperparah setelah City hanya mendatangkan Savinho dan Gundogan di bursa transfer musim panas.
Masalahnya, kehilangan Rodri bukan satu-satunya masalah City. Di lini depan, Erling Haaland yang mengemas 10 gol dalam lima pertandingan awal Liga Inggris juga tak bisa diharapkan untuk mengangkat performa timnya. Di tujuh pertandingan terakhir yang dimana lima di antaranya berakhir dengan kekalahan, striker asal Norwegia itu hanya menyumbang dua dari lima gol yang dicetak City dari tujuh pertandingan tersebut. Tiga gol sisanya dicetak oleh Rico Lewis dan Josko Gvardiol, dua pemain yang lebih alami menjalani peran bertahan.
Baca juga: Pep terima hasil buruk yang diperoleh Manchester City
Sudah 23 gol bersarang ke gawang City di Liga Inggris dari 16 pertandingan musim ini atau selalu kemasukan 1,4 gol per laganya. Di 10 besar, City menjadi tim yang kebobolan terbanyak kedua setelah Villa dan Brighton dengan 25 gol.
Oleh karena itu, terlalu naif jika mengatakan masalah City berkutat pada hilangnya Rodri atau mandulnya Haaland karena sejatinya masalah mereka adalah masalah kolektif seluruh individu.
Melihat masalah yang dialami City, sebagai pelatih Pep berterus terang dirinya sama sekali tidak menyangka akan separah ini. Apalagi, musibah ini terjadi di tengah-tengah keputusan dirinya melanjutkan kerja sama bersama City sampai 2027.
Pelatih asal Spanyol itu melihat ada sesuatu yang salah terjadi, “Saya bisa mengatakan jadwal atau cederanya, tapi tidak. Dengan skor 3-0 melawan Feyenoord di menit ke-75, kami harus memenangkan pertandingan itu. Hari ini kami harus memenangkan pertandingan itu.”
Ketika Pep masih kehabisan akal untuk mengembalikan performa City, Liverpool dan Chelsea justru semakin melaju. Dengan 10 pemain sejak menit ke-16, Liverpool mampu mengamankan satu poin dari Fulham. Sementara itu, bulan madu Chelsea dan Enzo Maresca juga masih berlanjut setelah mereka menang 2-1 atas Brentford.
Nottingham Forest menggeser City dari empat besar klasemen sementara. Di pekan selanjutnya, posisi City juga tak aman karena berpotensi digeser Bournemouth dan Aston Villa di posisi keenam dan ketujuh, serta berpotensi digeser oleh Fulham dan Brighton & Hove Albion di posisi kedelapan dan kesembilan.
Yang pasti, jika Pep dan City tak segera menemukan solusi, mereka harus siap-siap mengibarkan bendera putih untuk trofi Liga Inggris musim ini.
Baca juga: Pep Guardiola: Manchester City jadi klub terakhir saya
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2024