Jejak 75 tahun Maracanaco, hari patah hati nasional sepak bola Brasil

Jejak 75 tahun Maracanaco, hari patah hati nasional sepak bola Brasil

…delapan orang tewas akibat ‘Tamparan Maracana’ termasuk tiga di antaranya terkena serangan jantung saat menyimak siaran langsung pertandingan dari radio.

Jakarta (ANTARA) – Hari ini tepat 75 tahun lalu, Brasil mengalami hari patah hati sepak bola nasional. Mereka dikalahkan Uruguay 1-2 dalam laga pemungkas grup final Piala Dunia 1950 di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, Brasil. Insiden ini kemudian dikenal sebagai Maracanaco alias “Tamparan Maracana”.

Sebagai tuan rumah edisi comeback Piala Dunia setelah kecamuk Perang Dunia II berakhir, Brasil tampil gemilang dibimbing pelatih Flavio Costa. Kemenangan 2-0 atas Yugoslavia di laga terakhir fase penyisihan grup mengantarkan Brasil ke fase grup final, format anyar penentuan juara dibanding tiga edisi Piala Dunia terdahulu.

Kegemilangan Brasil berlanjut dengan melumat Swedia 7-1 dan Spanyol 6-1 di dua laga awal grup final, menjadikan mereka sebagai unggulan memasuki partai terakhir kontra Uruguay. Brasil di puncak dengan empat poin, sedangkan Uruguay hanya tiga poin hasil imbang 2-2 lawan Spanyol dan mengalahkan Swedia 3-2.

Aroma kepercayaan diri bercampur dengan kecongkakan merebak di Brasil, dari para pejabat, media, dan tentunya warga yang mendamba negeri mereka jadi juara dunia di tanah sendiri.

“Esok kita akan mengalahkan Uruguay!” demikian tulis tajuk utama harian Gazeta Esportiva sehari jelang pertandingan. Label juara disematkan secara sembrono meluncur dari mulut Wali Kota Rio de Janeiro Angelo Mendes de Moraes, lagu berjudul “Brasil Os Vencedores” (“Brasil Sang Juara”) yang siap ditampilkan selepas pertandingan, dan takarir “Mereka adalah juara dunia” menemani foto para pemain Brasil di halaman depan O Mundo yang terbit lebih awal.

Kepercayaan diri dan perayaan dini itu mengabaikan begitu saja fakta bahwa Uruguay memiliki satu aspek yang belakangan akan memainkan peranan penting, yakni ketangguhan mental untuk bangkit dari ketertinggalan dan tekanan sebagaimana mereka perlihatkan saat menghadapi Spanyol serta Swedia.

Baca juga: Napak tilas singkat sejarah Piala Dunia di FIFA Museum

Histeria

16 Juli 1950, partai penentuan Uruguay vs Brasil dimainkan di Maracana. Angka resmi mencatat 173.850 penonton hadir di Maracana, tapi diperkirakan jumlah aslinya mencapai 200.000 bila menghitung orang-orang yang menerobos masuk secara ilegal.

Brasil memegang kendali sejak sepak mula, tapi mereka baru bisa membuka keunggulan dua menit memasuki babak kedua melalui sontekan Frianca yang menyulut sorak hebat di tribun Maracana. Gol itu seharusnya menjadi momentum bagi Brasil mencengkeram penuh pertandingan, sesuatu yang tidak terjadi.

Pada menit ke-66, Uruguay menyamakan kedudukan ketika Juan Alberto Schiaffino mampu mendahului Juvenal untuk menyambut umpan tarik kiriman Alcides Gigghia yang sebelumnya sukses memperdaya Bigode di sisi kiri pertahanan Brasil.

Di atas kertas, Brasil hanya butuh hasil imbang untuk mengunci gelar juara Piala Dunia 1950, tapi gol Schiaffino cukup untuk mengubah atmosfer tribun Maracana yang pelan-pelan dilamun kekhawatiran. Kekhawatiran yang menjelma jadi kenyataan 13 menit berselang.

Gigghia sekali lagi memperdaya Bigode, sebelum melesakkan tembakan sudut sempit yang cukup untuk menaklukkan kiper Moacir Barbosa di area tiang dekat demi membawa Uruguay berbalik memimpin 2-1 atas Brasil.

Sisa pertandingan menjadi 11 menit paling mencekam. Sorak sorai raib. Brasil berusaha bangkit, tapi peluang Ademir melenceng jauh, menimbulkan suara-suara bak jeritan putus asa di tribun Maracana.

Ketika bek Schubert Gambetta meraup bola dengan kedua tangannya, para pemain Uruguay sempat bingung, rupanya ia sudah mendengar suara peluit akhir laga ditiup oleh wasit George Reader. Peluit yang memastikan gelar juara untuk Uruguay. Peluit yang memantik histeria di Maracana. Perayaan para pemain Uruguay pun harus berlangsung singkat di Maracana dan Presiden FIFA Jules Rimet menyerahkan trofi tergesa-gesa.

Sehari setelah “Tamparan Maracana” suasana muram menggelayuti kota Rio de Janeiro, surat kabar O Estado de Sao Paulo dan O Globo melaporkan bahwa petugas medis merawat sedikitnya 169 orang penonton Maracana yang terluka selepas peluit akhir Uruguay vs Brasil, enam orang harus dilarikan ke rumah sakit dan tiga di antaranya dalam kondisi kritis.

Sementara harian Folha de Sao Paulo menurunkan laporan bahwa delapan orang tewas akibat “Tamparan Maracana” termasuk tiga di antaranya terkena serangan jantung saat menyimak siaran langsung pertandingan dari radio.

Beredar kabar bahwa ada orang-orang yang mengakhiri nyawanya sendiri karena Maracanaco, tapi laporan Gazeta de Povo pada 2009 yang mengutip jurnalis Joao Maximo menyatakan tak ada konfirmasi berarti dari informasi itu.

Baca juga: Mengenang tragedi Maracana

Trauma

Maracanaco menyisakan trauma lain, yakni “Hantu 50” istilah untuk paranoia yang melanda Brasil tiap mereka harus menjamu Uruguay di Maracana. Meski butuh waktu, Brasil mengatasi trauma itu dengan mengalahkan Uruguay 1-0 pada 16 Juli 1989 atau tepat 39 tahun setelah Maracanaco.

Laga itu merupakan partai pemungkas fase grup final Copa America 1989, format yang kebetulan mereplikasi format Piala Dunia 1950, di mana Brasil dan Uruguay menjadi dua pesaing utama gelar juara. Brasil keluar sebagai juara.

Empat tahun kemudian, pada 19 September 1993, Brasil juga mengalahkan Uruguay 2-0 di Maracana untuk laga penentu Kualifikasi Piala Dunia 1994 zona Amerika Latin. Brasil lolos, Uruguay tidak, dan Romario jadi pencetak tiga gol ke gawang Uruguay pada 1989 maupun 1993 tersebut.

Kendati pembalasan tuntas telah terjadi, Hantu 50 kembali menyeruak jelang putaran final Piala Dunia 2014, di mana Brasil kembali menjadi tuan rumah dan Uruguay berhasil lolos dari fase kualifikasi.

Medio 2013 Hantu 50 lahir di dunia maya, menjelma dalam bentuk akun media sosial Twitter (kini X) dan Facebook yang mendaku nama “Fantasma del 50” alias Hantu 50. Siapapun di balik akun itu sempat mencuit lewat Twitter pada 2013, menuliskan: “Saya sudah berada di Maracana, tempat kelahiranku. Putra penerus Obdulio. Menghantui Brasil sejak 1950.” Ia merujuk kepada Obdulio Varela, kapten Uruguay kala Maracanaco terjadi.

Ironisnya, setelah intimidasi maya itu, justru Uruguay yang menderita kekalahan di Maracana pada 28 Juni 2014 kala dibungkam Kolombia dalam pertandingan babak 16 besar. Sedangkan Brasil, 10 hari kemudian mengalami tragedi lain bernama Mineiraco alias “Pembantaian Mineirao” saat mereka dilumat habis 1-7 oleh Jerman dalam laga semifinal di Stadion Mineirao, Belo Horizonte.

Pada akhirnya, Maracanaco memang menandai kegagalan Brasil menjadi juara dunia di tanah sendiri, tapi 75 tahun sejak peristiwa itu Selecao justru sukses memegang rekor sebagai tim dengan gelar juara dunia terbanyak setelah memenangi edisi 1958, 1962, 1970, 1994, dan 2002.

Baca juga: 10 pencetak gol tertua dalam sejarah Piala Dunia

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.