Solikin menjelaskan karakteristik pertama yang perlu diwaspadai adalah proteksionisme Amerika Serikat yang berkepanjangan dan defisit perdagangan yang tinggi. Kebijakan ini mendorong perubahan pola perdagangan global yang semakin menjauh dari prinsip multilateralisme.
Kedua, pertumbuhan ekonomi yang melambat dan terfragmentasi. Fragmentasi ekonomi global membuat kerja sama lintas negara menjadi lebih terbatas. Perdagangan internasional cenderung bergerak ke arah kelompok-kelompok kecil atau kesepakatan bilateral, sehingga mengurangi efisiensi dan menekan laju pertumbuhan ekonomi dunia secara keseluruhan.
“Di ekonomi dunia ini semakin apa, semakin lambat bertumbuhannya ya. Fragmented itu istilahnya tadi. Jadi dia pola-pola perdagangan konteks ekonomi itu semakin tidak multilateralisme. Tapi lebih ke smaller growth gitu ya,” ujarnya.
Ketiga, utang publik dan suku bunga yang tinggi. Defisit fiskal yang besar, terutama di negara maju seperti Amerika Serikat, mendorong peningkatan pembiayaan melalui utang. Kondisi ini membuat ekspektasi penurunan suku bunga menjadi terbatas karena persepsi risiko fiskal yang masih tinggi.
Keempat, pasar keuangan global yang rapuh. Peran lembaga keuangan non-bank atau Non-Bank Financial Institutions (NBFI) semakin besar, namun belum sepenuhnya diimbangi dengan regulasi yang kuat. Tingginya leverage di sektor ini, termasuk pada hedge fund, meningkatkan potensi risiko sistemik.
Kelima, risiko tambahan muncul dari perkembangan aset digital, khususnya kripto dan stablecoin, yang dinilai memiliki potensi gelembung atau bubble. Volatilitas tinggi dan lemahnya pengawasan membuat instrumen ini berisiko menimbulkan gangguan stabilitas keuangan.
“Nah, dampaknya tentunya ke pertumbuhan jumlah pada akhirnya yang memang bertumbuh melambat,” pungkasnya.